Cerpen ; Indahnya Puncak Panderman
https://www.google.com/url?
sebuah cerpen terinspirasi dari pengalaman penulis
gambar dari internet sebagai pemanis
Indahnya Puncak Panderman
Oleh: Christiana Sutarmi
Terik telah berlalu. Senja telah menua, mentari merayap ke arah
barat. Gadis manis berambut lurus menggendong
tas ransel tua meninggalkan gerbang asrama.
Bergagas ia mencari angkot yang
akan membawanya ke kota Batu. Pelan tapi pasti, angkot berwarna hijau
meninggalkan kota Malang.
Tanpa banyak bicara Ana melemparkan pandangan ke luar
jendela. “Pemandangan menuju Batu mulai
berubah.” Gumamnya. Beberapa tahun yang lalu, di sebelah kanan
jalan merupakan tanah kosong yang ditumbuhi rumput liar dan sampah menumpuk membuat tak sedap dipandang.
Namun kini telah berubah. Terlihat di
sana bangunan beberapa gedung yang tertata rapi. Tanah dengan permukaan yang miring di seberang jalan merupakan lembah, menambah keindahan senja itu. Namun tidak
menghilangkan rasa cemas di hati Ana.
Untuk
pertama kalinya Ana bersama teman sekampus mengisi waktu liburan dengan
mendaki gunung. Maka tidak heran jika
Ana merasa cemas. Setelah sampai di
alamat yang dituju Ana pun turun dari angkot. Sang surya telah lelah. Hari
mulai gelap Tak sabar Ana memencet tombel bel yang tertempel di dinding pintu
gerbang asrama.
“Selamat sore Pak,
saya Ana temannya Agus,” Ana memperkenalkan diri. “ Selamat sore Bu Ana. Saya Bayu. Silakan
masuk, teman-teman sudak sejak tadi di
sini, Bu.” Jawab Bayu sambil menutup
pintu gerbang. Sekalipun masih muda, Ana biasa dipanggil ibu karena ia seorang
ibu asrama yang bekerja di Yayasan Bhakti Luhur Malang.
Uni, Tina, Winarni dan kawan kawan sudah datang lebih awal. Keceriaan ada pada mereka tertawa lepas dan
bersendagurau. Mereka berkumpul di sebuah ruangan cukup besar semacam aula. Kebahagiaan itu bertambah dengan kehadiran Bu
Ana. ”Puji Tuhan ... akhirnya Bu Ana
bisa gabung dengan kita!” Seru Tina penuh suka cita disambut sorak sorai
teman-teman.
“Mana yang lain...? di mana teman-teman putra?” tanya Ana penuh selidik. “ Agus sedang
membereskan ruang makan bersama anak-anak. Mas Arju sedang menjemput pawang.” Jawab
Uni.
“Aku undur diri saja, ya Mbak” kata Ana memelas dengan
wajah sendu. “Kenapa Bu, tinggal tunggu
‘Pak Pawang...,lagian ini sudah malam !” jawab Uni terkejut. “ Kalau Bu Ana tidak ikut, bagaimana dengan yang lain?” lanjut Uni. “Tidak serulah kalau
tidak ada Bu Ana” Sambung Wiwin .Suasana
pun sunyi.
Ana sadar kalau dirinya tidak mungkin sanggup mendaki
gunung seperti teman-teman lain yang masih tergolong muda. Ana lebih tua
sekitar 5 tahun dari mereka ini. Ana juga bertubuh agak gemuk dibandingkan
dengan teman-temannya. Rasa cemas
menyelimuti hatinya.
Suasana sunyi, masing-masing larut dalam angan. “Ting-tong...
ting tong... “ Bunyi bel memecah kesunyian.
Arju dan pawang pun datang. “
Ayuk kita siap-siap. Sebelum berangkat kita dengarkan dulu arahan dari Pak Parno”
kata Arju sambil mempersilakan Pak Parno memberikan nasehat dan arahan. Pak
Parno adalah pawang atau pemandu orang
yang akan mendaki Gunung Panderman dari arah
Sengkaling, sebelah timur kota Batu.
Pak Parno memberi arahan dan petunjuk dan tidak lupa
memberi tahu larangan-larangan selama
perjalanan mendaki Gunung Panderman. Semua peserta diam mendengarkan dan tampak
paham. Namun Ana tidak konsentrasi dan kelihatan cemas, ada hal yang tidak beres
tentunya.
Arjun pun bertanya
pada Ana ” Ada apa Mbak? kok kelihatan cemas?” Tinapun angkat bicara. “Bu Ana tidak jadi ikut, Mas. Tidak tahu
kenapa.” “ Aku takut, Mas. Takut tidak
kuat karena aku belum pernah mendaki gunung. Jangankan mendaki, joging saja
jarang” Ana menjelaskan alasannya sambil menunduk malu dan meremas-remas
tangannya sendiri.
“ Oh..., itu
masalahnya. Nanti kita akan kerja sama, Mbak.
Kita akan saling menolong. Jangan
kuwatir, Mbak.” Agus memberi semangat. “ Kerjasama bagaimana? Kalau aku tidak
kuat jalan, apa ada yang mau menggendong aku... jangan bercanda ya, atau
meledek !” Ana mulai sewot.
“ Agus tidak bercanda, Mbak. Nanti yang merasa tidak kuat, langsung pada
saat itu bilang saja. Kita akan salurkan
tenaga dalam untuk teman yang merasa
lelah seolah tak sanggup lagi.” Arjun meyakinkan. “ Benarkah itu...!?” seru Ana mulai
semangat. “ Ya, benar. Pokoknya terbuka
saja.
“ Sayapun merasa tidak kuat Bu, kalau hanya mengandalkan
tenaga sendiri. Namun berhubung Agus dan yang lainnya mau membantu, saya ikut mendaki. Kapan lagi kalau tidak
sekarang?”kata Uni. “ Ok, kalau begitu.
Saya tidak jadi mengundurkan diri.” Ana menjawab tanpa rasa cemas lagi.
Sebelum berangkat, rombongan berdoa terlebih dahulu. Dipandu oleh Pak Parno dan anaknya sebagai pawang dan dipimpin oleh Mas Arju
dengan anggota 18 jadi semua 21 orang.
Mulailah rombongan pendaki gunung berjalan kaki. Rombongan berangkat
dari asrama putra Sengkaling jam 9 malam dengan harapan jam 12 malam tepat sampai di Puncak Panderman.
Dua jam telah
berlalu, tanpa rintangan berarti. Sampailah rombongan di kaki gunung. Ana dan teman –teman yang putri berjalan di depan sedangkan Agus, Arju
dan teman putra di belakang. Rombongan
mendaki beririnngan. Pak Parno sebagai pawang paling depan, anaknya
ditengah-tengah rombongan dan paling akhir Mas Arju. Pak Parno pembawa senter penerang jalan.
Sesekali dia mengayunkan parang, membuka jalan yang sering kali dirintangi oleh
rumput liar dan ranting-ranting semak belukar.
Koor jangkrik bersaut-sautan.
Sesekali terdengar suara burung hantu menambah syahdunya malam ditengah
pendakian menuju puncak Panderman. Entah apa yang dicari oleh kelompok muda
ini. Masing-masing punya harapan selain membuang kejenuhan melaksanakan tugas
kuliah dan tugas asrama. Begitu
pula Ana penuh semangat lupa akan rasa cemas dan gelisah yang sempat menghantui
dirinya sebelum berangkat.
“ Rasanya sudah tidak kuat lagi, Mas...!” seru Ana sambil
terengah-engah. Air mineral yang dibawanyapun sudah habis. “ Ok...
Pak Parno tolong berhenti dulu. Cari tempat yang agak datar, kita istirahat dulu
sejenak !” teriak Mas Arju memohon.
“ Baiklah. Dua menit lagi, pas dipertengahan gunung.
Tetap semangat...!” jawab Pak Parno sembari memberi semangat. Rombongan tetap
melanjutkan perjalanan yang semakin mendaki.
Ana merasakan dalam mendaki hanya berpegangan pada
ranting. telapak kaki tidak perpijak
pada tanah. Namun tubuh melekat pada
tanah bebatuan, merayap. Layaknya bayi
yang sedang merangkak, begitulah yang dialami oleh Ana. Ana sungguh beruntung ditemani Winarni anak
kesayangannya di asrama. Win inilah yang
berjalan di depan Ana, yang sesekali menarik tangan Ana jika ia merasa Ana
tertinggal agak jauh darinya.
Sampailah pada bebatuan yang bisa untuk duduk. “ Kita
istirahat di sini. Silakan cari tempat
duduk masing-masing. Usahakan senyaman
mungkin” Ucap pak parno penuh wibawa.
“ Bagi yang merasa perlu bantuan, silakan duduk. Nanti akan
kita bantu satu persatu.” pinta Mas Arju seraya mengatur nafas. “ Ok, Mas...!” jawabnya serempak.
Tanpa menyia-nyiakan waktu , Ana mencari tempat untuk
bersila. Ana merobohkan semak-semak untuk alas. Sambil
menunggu giliran bantuan, Ana mengatur nafas dengan menarik nafas dalam-dalam
sambil menghembuskan perlahan-lahan.
“ Bu Ana sudah siap?” tanya Agus sembari menengadahkan
tangan ke atas. “ Sudah, Mas. Apa yang harus saya lakukan ?” Ana menjawab. “ Ibu duduk bersila, fokus pada
pernafasan. Jangan memikirkan apapun,
rilex saja. Berdoa dengan doa Bapa Kami di ulang-ulang dalam hati sampai kami
selesai.” Agus menjelaskan.
Mas Arju dari
belakang mengarahkan kedua telapak tangannya ke arah punggung sedangkan Agus
dari depan mengarahkan kedua telapak tangannya ke arah tubuh Ana sambil
berdoa. Ana memejamkan mata, tanpa
memikirkan apapun dan dalam hati mengucapkan doa Bapa Kami.
Perlahan-lahan Ana merasakan hembusan angin segar merasuk
dalam tubuhnya. Rasa segar itu merasuk dari atas masuk ke seluruh tubuh. Mulai dari ubun-ubun menjalar ke mata,
hidung,telinga, seluruh kepala,leher, dada, punggung, kedua lengan, perut,
paha, sampai pada telapak kaki. Seluruh
tubuh terasa segar sekali. Seolah-olah baru
selasai keramas dan mandi memakai sabun
wangi cap Tawon.
“Puji Tuhan...Syukur kepada Allah!!” spontan Ana berseru
merasakan kesegaran yang luar biasa.
Terima kasih ya mas Agus, mas Arju dan kawan-kawan semua.”kata Ana. “ Sama-sama, Bu.” Agus menjawab. Satu persatu
yang membutuhkan bantuan dibantunya dengan mengandalkan kekuatan Allah melalui
doa. “Kalau sudah semua merasa segar,
kita lanjutkan perjalanan”terang mas Arju. Kurang lebih rombongan istirahat sekitar setengah
jam.
Pendakian diteruskan dengan tenaga dan semangat yang
baru. Berjalan tetap dengan posisi
merangkak super hati-hati, penuh sukacita.
Hanya setengah jam dari waktu istirahat , rombongan sampai puncak
Panderman. Setengah jam lebih cepat dari
pendakian pada umumnya. Begitu penjelasan Pak Parno. Rasa haus dan lapar sirna,
berganti rasa kagum.
Disapunya pemandangan super indah dengan netra. Kerlap-kerlip lampu kota Batu sungguh
mempesona, menambah keindahan malam bulan itu
pada tahun 1991. Anan merasakan dan menikmati kemerdekaan sejati; merebahkan
tubuh, memandang langit berbintang,
penuh rasa syukur dan hormat kepada Tuhan. Langit itu seolah dekat sekali. Rasa syukur
yang mendalam dari lubuk hati Ana. ” Puji Syukur kuhaturkan pada-Mu Tuhan. Engkau sungguh Agung dan Mulia. Engkau
ciptakan bumi semesta ini dengan kuasa-Mu untuk kami diami” begitu doa Ana
spontan. Teman-temanpun mengagumi kemuliaan Tuhan denngan caranya
masing-masing. Tak lupa foto bersama.
Sembari menunggu fajar menyingsing, semua bernyanyi sambil bertepuk
tangan dan secara bergantian mengucapkan doa ataupun mengucapkan puisi secara
spontan.
Kampung tengah mulai keroncongan. “ Gus..., kamu punya makanan?” Ana berucap
lirih sambil memegang perut. “ Lho..., tadi kan sudah diingatkan supaya membawa
bekal masing-masing. Jadi saya ya membawa makanan dan minuman untuk diriku
sendiri!?” jawab Agus setengah heran. “ Saya kalau mengadakan pendakian seperti
ini membawa minum dan supermi. Meskipun hanya semalam pasti merasa lapar. Obat-obatan ringan seperti minyak kayu putih
dan betadin selalu ada dalam tas.” ucap Agus melanjutkan.
Rupanya Mas Arju mendengar apa yang dibicarakan oleh Ana
dan Agus. “ benar sekali apa yang dikatakan Agus, Mbak. Saya hanya menambahkan. mendaki gunung itu
membawa bekal bukan uang melainkan makanan. Korek api dan garam sangat berguna.
Korek api berguna untuk membakar umbi-umbian yang kita bawa dari rumah atau
yang kita temukan di hutan atau di gunung semacam ini. Namun jangan sampai kita
pergi meninggalkan api. Jika kita membakar sesuatu atau menyalakan api, harus
kita tunggui, dan kita padamkan. Apabila lupa memadamkan, bisa mengakibatkan
kebakaran hutan.” Mas Arju memberi penjelasan.
Dengan berbincang,
menyanyi berseda gurau bersama fajar di ufuk timur mulai menyingsing. Kami semua mengarahkan pandangan kearah
terbitnya matahari. Sungguh indah
pemandangan di puncak Gunung Panderman. ketika mulai siang, romobongan mulai
turun Gunung. Dengan suka cita yang luar biasa. Bunga Edelweis tampak indah
namun tak memetiknya. Ingat nasehat pawang
sebelum mendaki. Jaga bumi, rumah kami.
Profil Penulis .
Sutarmi, Lahir di Kulon Progo Yogyakarta, 01 Februari
Profesi PNS sebagai Guru Pendidikan Agama Katolik dan Budi Pekerti di SDN 187/IX
Tanjung Harapan, Kabupaten Muaro Jambi Provinsi Jambi.
Pendidikan SD Pangudi Luhur Boro III, SMP Setya, PGAK Malang ,S-1 th.1994
IPI Malang.
Selain tugas utama di SDN 187/IX Tanjung Harapan juga mengajar PAKat di
SMAN 4 Muaro Jambi. Disamping tugas
utama mengajar, sebagai Kepala Perpustakaan Sekolah
Menikah dengan Petrus Bambang Silo Santoso
Menulis Buku Antologi:
1. School Boster
2. Mengajar Masa Pandemi
3. Ladang Pahala ( Sisi lain ibu sekaligus guru)
4. Tip & Triks Mengatasi Kejenuhan Mengajar
5. Simfoni Dua Hati dan beberapa antologi masih dalam
proses.
Penulis dapat dihubungni melalui :
FB :
Sutarmi Christiana
IG/WA/Telegram : 0813 8484 9960
Email : sutarmichristiana@gmail.c
sutarmi21@guru.sd.belajar.id
Komentar
Posting Komentar